Blogger Widgets

Jumat, 07 Agustus 2015

Udang Vannamei Praktikum PT. Suri Tani Pemuka Serang



I.       PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang

Udang vanamei (Litopennaeus vanamei) merupakan salah satu varietas udang baru yang mempunyai toleransi terhadap salinitas yang cukup tinggi, lebih produktif, mempunyai harga yang lebih kompetitif dan komperatif dibandingkan dengan udang jenis lain serta padat tebar yang cukup tinggi. Udang vanamei diharapkan mapu menjadi primadona dari sub sector perikanan sehingga dapat sebagai penggerak bagi sub sector yang lain seperti industry pakan udang, pembenihan, obat obatan, bengkel mesin tamabak (kincir dan pompa dan tenaga kerja.
Di Indonesia, udang vanname baru diintroduksi dan dibudidayakan mulai awal tahun 2000-an  dengan menunjukkan hasil yang menggembirakan. Masuknya udang vanname ini telah menggairahkan kembali usaha pertambakan Indonesia yang mengalami kegagalan  budidaya akibat serangan penyakit, terutama bintik putih (white spot). White spot telah menyerang tambak-tambak udang windu baik yang dikelola secara tradisional maupun intensif meskipun telah menerapkan teknologi tinggi dengan fasilitas yang lengkap.
Udang vanamei juga diharapkan mapu menutupi kegagalan yang besar akibat dari serangan virus WSSV (White Spot syndrome Virus). Udang vanamei berasal dari amerika latin dan introduksi ke Indonesia berdasarkan SK mneteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.41/MEN/2001 pada tanggal 14 juli 2001. Untuk memenuhi kebutuhan akan udang vanamei maka telah berdiri beberapa perusahaan pembenihan udang vanamei. Salah satu perusahaan yang bergerak dibidang pembenihan udang vanamei (Litopenaeus vanamei) adalah PT. Surya Tani Pamuka. Perusahaan ini melakukan kegiatan pembenihan udang vanamei dengan induk berasl dari hawai. Pengaadaan induk yang berasal dai hawai adalah untuk mendapatkan induk vannamei yang benar benar terjamin serta mencegah terjadinya inbreedin. Daerah pemasaran untuk produk ini antara lain pulau jawa meliputi Cirebon. Indramayu, lamongan, banyuwangi bahkan sampai ke luar pulau jawa seperti Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.

1.2  Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan praktek pembenihan udang vanamei di PT Suri Tani Pamuka ini adalah:
1.   Untuk  menambah pengetahuan dan wawasan tentang perkembangan teknologi perikanan, terutama pembenihan udang vanamei (Litopenaeus vanamei) di PT. Suri  Tani Pamuka.
2.   Mengidentifikasi permasalahan yang terdapat dalam pembenihan udang vanamei (Litopenaeus vanamei) di PT. Suri  Tani Pamuka.
3.   Meningkatkan keterampilan dan membandingkan ilmu yang didapat di bangku kuliah dengan tehnik pembenihan udang vanamei yang diterapkan di PT. Suri Tani Pamuka.









II.      TINJAUAN PUSTAKA

Penaeus vannamei, biasa juga disebut sebagai udang putih dan masuk ke dalam famili Penaidae. Anggota famili ini menetaskan telurnya di luar tubuh setelah telur dikeluarkan oleh udang betina. Udang Penaeid dapat dibedakan dengan jenis lainnya dari bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Penaeid vannamei memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal. Penaeus vannamei memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m2). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, Penaeus vannamei tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban et al., 1991).
Penaeus vannamei memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 – 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat lingkungan dan darah isoosmotik (Wyban et al., 1991).  Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Penaeus vannamei akan mati jika tepapar pada air dengan suhu dibawah 15oC atau diatas 33oC selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22 oC dan 30-33oC. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan Penaeus vannamei adalah 23-30oC. Pengaruh temperatur pada pertumbuhan Penaeus vannamei adalah pada spesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun (Wyban et al., 1991).


 
2.1 Klasifikasi Udang vanamei
Klasifikasi dari udang vanamei (Litopenaeus vanamei) adalah sebagai berikut:
Kingdom        : Animalia
Phyllum         : Arthropoda
Class              : Malacostraca
Ordo               : Decapoda
Family                        : Panaeidae
Genus            : Penaeus
Species          : Penaeus monodon
2.2 Morfologi
Tubuh udang vaname dibentuk oleh dua cabang (biramus), yaitu exopodite dan endopodite. Vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodic (moulting). Bagian tubuh udang vaname sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut (Tani Mandiri, 2009):
1.    Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing)
2.    Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas
3.    Organ sensor, seperti pada antenna dan antenula.
Menurut Tani Mandiri (2009), udang vanname memiliki tubuh yang dibalut kulit tipis keras dari bahan chitin berwarna putih kekuning-kuningan dengan kaki berwarna putih. Tubuh udang vanname ini dibagi menjadi dua bagian besar, yakni bagian :
a.    Cephalothorax yang terdiri atas kepala dan dada
b.    Abdomen yang terdiri dari atas perut dan ekor
Cephalothorax dilindungi oleh chitin tebal yang disebut juga dengan karapas (carapace). Bagian cephalothorax ini terdiri atas lima ruas kepala dan delapan ruas dada, bagian depan menjorok merupakan kelopak kepala yang memanjang dengan bagian pinggir bergerigi yang disebut juga dengan cucuk (rostrum). Bagian rostrum ini bergerigi dengan sembilan gerigi pada bagian atas  dan dua gerigi pada bagian bawah. Sementara itu, dibawah pangkal kepala terdapat sepasang mata.
Bagian dada terdiri dari delapan ruas yang masing-masing ruas mempunyai sepasang anggota badan yang disebut Thoracopoda. Thoracopoda pertama sampai dengan ketiga dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pelengkap bagian mulut dalam memegang makanan. Thoracopoda lainnya (ke-5 s/d ke-8) berfungsi sebagai kaki jalan yang disebut pereipoda. Pereipoda pertama sampai dengan ketiga memiliki capit kecil yang merupakan ciri khas dari jenis udang penaeid (http://atammahendra.blogspot. 2008).




Gambar 1. Morfologi udang  vannamei (Haliman dan Adijaya, 2005)
Menurut Mastosudarmo & Ranomihardjo (1983), tubuh udang penaeid terbagi kedalam dua bagian yaitu chepalothorax (kepala, dada) dan abdomen.

a.    Kepala
Martosudarmo & Ranomihardjo (1983), berpendapat bahwa ruas kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai.  Mata bertangkai ini bukan suatu anggota badan. Antena satu atau antennules mempunyai dua buah flagella yang pendek dan berfungsi sebagai alat peraba dan penciuman. Antena dua atau antennae mempunyai dua buah cabang, pertama (exopodite) yang berbentuk pipih dan tidak beruas disebut prosartema sedangkan yang lain (endopodite) berupa cambuk yang panjang yang berfungsi sebagai alat perasa. Tiga ruas terakhir dari bagian kepala terdapat sepasang mandibula dan dua pasang maxilla. Mandibula berfungsi menghancurkan makanan yang keras. Maxilla berfungsi membawa makanan ke mandibula. Ketiga anggota badan ini letaknya berdekatan sehingga terjadi kerja sama yang harmonis.
b.    Dada
Martosudarmo & Ranomihardjo (1983), menyatakan bahwa bagian dada terdiri dari delapan ruas yang masing-masing ruas mempunyai sepasang anggota badan yang disebut Thracopoda. Thracopoda pertama sampai dengan ketiga dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pelengkap bagian mulut dalam memegang makanan. Thracopoda lainnya (ke lima s/d enam) berfungsi sebagai kaki jalan yang disebut periopoda. Periopoda pertama sampai dengan ketiga memiliki capit kecil yang merupakan ciri khas dari jenis penaeid.
c.    Abdomen
Bagian perut/abdomen terdiri dari enam ruas. Ruas pertama sampai dengan ruas ke lima masing-masing memiliki sepasang anggota badan yang dinamakan pleopoda. Pleopoda berfungsi sebagai alat untuk berenang oleh kerena itu bentuknya pendek dan kedua ujungnya pipih dan berbulu. Pada ruas keenam abdomen terdapat kaki renang yang berubah bentuk menjadi dua pasang ekor kipas atau yang sering disebut uropoda. Diantara uropoda terdapat bagian yang ujungnya runcing atau disebut telson. Kedua bagian ini berfungsi sebagai kemudi (Elovaara, 2001).
Felix & Perez (2002), menyatakan bahwa udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual, yaitu alat kelamin jantan dan betinanya terpisah. Udang jantan mempunyai alat kelamin yang disebut petasma terletak pada pleopoda pertama. Sedangkan udang betina mempunyai alat kelamin yang disebut thellicum terletak diantara periopoda ke empat dan ke lima. Pada udang jantan gonadnya  akan berkembang menjadi testes sebagai penghasil sperma dan pada betina berkembang menjadi ovarium  yaitu indung telur yang berfungsi sebagai penghasil telur (Suyanto & Hardjono, 1987). Perkembangan gonada udang vannamei meliputi tahapan-tahapan yaitu berwarna keputihan  kemudian akan berubah menjadi coklat keemasan (Wyban & Sweeney 1991).
2.3 Siklus Hidup Penaeus vannamei
Udang biasa kawin di daerah lepas pantai yang dangkal. Proses kawin udang meliputi pemindahan spermatophore dari udang jantan ke udang betina. Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam. Telur-telur dikeluarkan dan difertilisasi secara eksternal di dalam air. Seekor udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur. Dalam waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran mikroskopik yang disebut nauplii/ nauplius (Perry, 2008). Tahap nauplii tersebut memakan kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami metamorfosis menjadi zoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorfosis menjadi postlarva. Tahap postlarva adalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplii sampai postlarva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat alaminya, postlarva akan migrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan bersalinitas rendah. Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat dewasa. Udang dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut.
Gambar 2. Siklus hidup panaeus vannamei
2.3 Karakteristik Induk Udang
Udang yang dijadikan sebagai induk (broodstock) sebaiknya bersifat SPF (Specific Pathogen Free). Udang tersebut dapat dibeli dari jasa penyedia udang induk yang memiliki sertifikat SPF. Keunggulan udang tersebut adalah resistensinya terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang, seperti white spot, dan lain-lain. Udang tersebut didapat dari sejumlah besar famili dengan seleksi dari tiap generasi menggunakan kombinasi seleksi famili, seleksi massa (WFS) dan seleksi yang dibantu marker. Induk udang tersebut adalah keturunan dari kelompok famili yang diseleksi dan memiliki sifat pertumbuhan yang cepat, resisten terhadap TSV dan kesintasan hidup di kolam tinggi. Karakteristik induk udang baik yang lain adalah udang jantan dan betina memiliki karakteristik reproduksi yang sangat bagus. Spermatophore jantan berkembang baik dan berwarna putih mutiara. Udang betina matang secara seksual dan menunjukkan perkembangan ovarium yang alami. Berat udang jantan dan betina sekitar 40 gram dan berumur 12 bulan.
2.4  Reproduksi Udang
Sistem reproduksi Penaeus vannamei betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis dari epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina. Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan menjadi dikelilingi oleh sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material kuning telur (yolk) dari darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991).
Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma, dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama perjalanan melalui vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan melingkupinya dalam sebuah chitinous spermatophore (Wyban et al., 1991). Leung-Trujillo (1990) menemukan bahwa jumlah spermatozoa berhubungan langsung dengan ukuran tubuh jantan.

2.5 Kawin dan Bertelur
Perilaku kawin pada Penaeus vannamei pada tangki maturasi dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti temperatur air, kedalaman, intensitas cahaya, fotoperiodisme, dan beberapa faktor biologis seperti densitas aerial dan rasio kelamin (Yano et al., 1988). Menurut Dunham (1978) dalam Yano, et al (1988), bahwa adanya perilaku kawin pada krustasea disebabkan adanya feromon. Udang jantan hanya akan kawin dengan udang betina yang memiliki ovarium yang sudah matang. Kontak antena yang dilakukan oleh udang jantan pada udang betina dimaksudkan untuk pengenalan reseptor seksual pada udang (Burkenroad, 1974, Atema et al., 1979, Berg and Sandfer, 1984 dalam Yano, et al., 1988).  Proses kawin alami pada kebanyakan udang biasanya terjadi pada waktu malam hari (Berry, 1970, McKoy, 1979 dalam Yano, 1988).Tetapi, udang Penaeus vannamei paling aktif kawin pada saat matahari tenggelam.
Spesies Penaeus vannamei memiliki tipe thelycum tertutup sehingga udang tersebut kawin saat udang betina pada tahap intermolt atau setelah maturasi ovarium selesai, dan udang akan bertelur dalam satu atau dua jam setelah kawin (Wyban et al., 2005).
Peneluran terjadi saat udang betina mengeluarkan telurnya yang sudah matang. Proses tersebut berlangsung kurang lebih selama dua menit. Penaeus vannamei biasa bertelur di malam hari atau beberapa jam setelah kawin. Udang betina tersebut harus dikondisikan sendirian agar perilaku kawin alami muncul (Wyban et al., 1991).  


2.6 Proses Pembenihan Secara Konvensional
Proses pembenihan yang biasa dilakukan pada kebanyakan pembenuran (hatchery) udang komersial adalah dengan cara perkawinan alami untuk menghasilkan larva. Keuntungan perkawinan alami dibandingkan dengan inseminasi buatan adalah jumlah nauplii yang dihasilkan tiap udang betina sekali bertelur lebih banyak dibandingkan nauplii yang dihasilkan dengan metode inseminasi buatan (Yano et al., 1988).
Induk udang Penaeus vannamei dikumpulkan dan dipelihara dalam kondisi normal untuk maturasi dan kawin secara alami. Setiap sore dilakukan pemeriksaan untuk melihat udang betina yang sudah kawin lalu dipindah ke tangki peneluran (spawning tank). Betina yang sudah kawin akan memperlihatkan adanya spermatophore yang melekat. Saat pagi hari, betina yang ada di dalam tangki peneluran dipindahkan lagi ke dalam tangki maturasi (maturation tank). Dalam waktu 12-16 jam, telur-telur dalam tangki peneluran akan berkembang menjadi larva tidak bersegmen atau nauplii (Wyban et al., 1991).
Menurut Caillouet (1972), Aquacop (1975), dan Duronslet et al., (1975), ovum pada udang betina biasanya mengalami reabsorbsi tanpa adanya peneluran lagi. Masalah tersebut dapat dikurangi dengan cara ablasi salah satu tangkai mata yang menyediakan hormon yang berfungsi sebagai stimulus untuk reabsorbsi ovum (Arnstein dan Beard, 1975; Wear dan Santiago, 1977). Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa ablasi juga dapat meningkatkan pertumbuhan udang (Hameed dan Dwivedi, 1977). Ablasi dilakukan dengan cara membakar, mengeluarkan isi dari salah satu batang mata keluar melalui bola mata, dan melukai batang mata dengan gunting (Wyban et al., 2005). Udang yang akan diablasi dipersiapkan untuk memasuki puncak reproduktif. Jika ablasi dilakukan saat tahap premolting maka akan menyebabkan molting, ablasi segera setelah udang molting dapat menyebabkan kematian, dan ablasi selama intermolt menyebabkan perkembangan ovum (Adiyodi dan Adiyodi, 1970).
2.7 Pematangan Gonad dan Persiapan Pemijahan
Induk udang membutuhkan suasana lingkungan yang tenang untuk maturasi yang baik. Oleh karena itu, fasilitas maturasi harus dibagi menjadi tiga ruangan yang terpisah, yaitu ruang tangki maturasi, ruang tangki peneluran (spawning tanks), dan ruang untuk persiapan makanan (Wyban et al.,1991).
2.7.1 Ruang Tangki Maturasi (Maturation Tanks)/Pematangan
Setiap tangki maturasi difasilitasi oleh pipa untuk penyediaan air laut. Flownwater digunakan pada tiap jalur suplai untuk mengontrol pertukaran air. Saluran udara yang terletak di tengah tangki menyediakan udara menuju tangki. Saluran udara tersebut juga digunakan untuk menjaga kedalam air dalam tangki tetap pada 18 inchi (Wyban et al., 1991).
Kotak lampu 75 watt digantungkan diatas tangki. Plastik diffuser pada kotak lampu berfungsi untuk menyebarkan cahaya, dan mencegah cahaya yang berlebihan masuk dalam tangki dibawahnya. Mesin “sunrise/sunset” (lampu yang dikontrol oleh waktu dan rheostat) mengontrol fotoperiodisme dalam masing-masing tangki dan meningkatkan cahaya secara bertahap dari keadaan gelap gulita menjadi cahaya penuh pada pertengahan hari (Wyban et al., 1991). Tangki maturasi dicat hitam agar menciptakan suasana remang-remang. Ruang tangki maturasi ini juga dijaga pada temperatur 27oC untuk membuat kondisi lingkungan menyerupai lingkungan alami udang Penaeid. Setiap tangki maturasi ditempati oleh udang jantan yang lebih banyak daripada jumlah udang betina (5-6 udang/m2 ). Udang jantan seharusnya memiliki berat 40 gram atau lebih. Karena pertumbuhan udang jantan yang lambat, berat udang dibawah 40 gram biasanya menyebabkan udang tersebut kuran produktif. Udang jantan dengan melanisasi yang parah pada petasma atau spermatophore tidak dimasukkan ke dalam tangki maturasi.. Berat udang betina seharusnya mencapai 48 gram atau lebih (Wyban et al., 1991).
2.7.2 Ruang Tangki Peneluran (Spawning Tanks)
Spawning tanks memiliki dasar yang rata. Masing-masing tangki berisi air laut dan saluran udara di tengah tangki. Kaca fiber ditambahkan dalam tangki sehingga enam ekor udang yang sudah kawin dapat bertelur dengan segera (Wyban et al., 1991).
2.7.3 Sistem Air
Kualitas air harus diatur dan dipelihara pada kondisi menyerupai lingkungan alami udang Penaeid. Air laut yang dimasukkan ke dalam tangki maturasi dan spawning tanks harus mengalami beberapa perlakuan dahulu, antara lain penghilangan materi organik yang terlarut dengan cara filtrasi dan pengendapan, ozonisasi untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme, dan pendinginan air (25oC - 28oC) agar didapat suhu yang menyerupai habitat asli udang Penaeid. Thermostat diatur pada suhu 27oC dan fluktuasi temperatur harian diatur agar kurang dari 0,5oC (Wyban et al., 1991). Sistem alarm mengawasi beberapa parameter yang penting dalam sistem maturasi. Satu alarm terhubung pada kedalaman air dalam reservoir. Jika air turun sebanyak 15 cm dalam tangki, alarm akan berbunyi. Sistem alarm lain terhubung pada suplai udara (Wyban et al., 1991).

2.7.4 Ablasi

Setelah satu minggu dalam tangki maturasi, udang induk betina dilakukan ablasi pada batang mata. Pemotongan batang mata menggunakan pisau atau gunting  yang dibakar sebelumnya agar steril. Saat udang betina sudah ditandai dan diablasi, sistem operasi menuju ke aktivitas rutin harian (Wyban et al., 1991). 
2.7.5 Pembersihan Tangki
Tangki maturasi dibersihkan sebelum pemberian pakan pertama dengan cara siphoning. Tangki dibersihkan dari sisa molting, makanan sisa, feses dan udang mati. Aliran udara di non aktifkan selama siphoning untuk mengumpulkan semua kotoran yang ada dalam tangki untuk meningkatkan visibilitas (Wyban et al., 1991).
2.7.6 Pemberian Pakan
Kemampuan bertelur induk dapat ditingkatkan dengan cara pemberian makan berupa hewan laut segar atau beku, seperti tiram, cumi, atau poliseta. Udang induk yang diberi makan oleh organisme tersebut memiliki kemampuan reproduksi yang lebih tinggi daripada udang yang diberi makan pakan kering. Nutrisi yang baik dapat meningkatkan reproduksi udang dengan meningkatkan sintesis hormon steroid, kuning telur, dan transportasi kuning telur dari hepatopankreas menuju ovarium. Selama masa reproduksi, udang membutuhkan lebih banyak vitamin C yang memainkan peranan penting dalam perubahan kolesterol menjadi steroid (Wyban et al., 1991).  Pakan diberikan empat kali sehari dengan alternatif pakan berupa cumi dan cacing darah. Cacing darah dibuat menjadi semi cair dan dipotong-potong menjadi sepertiga panjangnya, sedangkan cumi dipotong kotak-kotak. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi turbiditas air (Wyban, et al., 1991).


2.7.7  Pemantauan Kualitas Air
Oksigen terlarut atau DO dan temperatur diukur setiap hari menggunakan DO meter. pH air juga diukur (Wyban et al., 1991). Selain itu salinitas, konsentrasi amonium, dan nitrit juga dipantau setiap hari. Menurut Treece dan Fox (1993), air laut memiliki rata-rata konsentrasi NH4-N sebesar 0.02-0.04 mg/L (ppm), konsentrasi NO2-N (nitrit) sebesar 0.01-0.01 mg/L (ppm), dan konsentrasi NO3-N (nitrat) sebesar 0.1-0.2 mg/L (ppm). Menurut Chen dan Chin (1988) bahwa konsentrasi nitrit 0.1 m/L (ppm) atau lebih dapat merusak reproduksi.
2.7.8 Penghitungan Telur dan Nauplii
Telur dan nauplii dalam tiap spawning tanks dihitung dengan mengambil lima sampel (masing-masing 100 ml) lalu dihitung dengan menggunakan bantuan lampu meja. Jumlah telur dan nauplii pada tiap sampel dihitung dan rata-rata dari lima sampel dikalkulasi lalu diekstrapolasi dengan volume air dalam spawning tanks untuk menentukan jumlah total telur dan nauplii (Wyban et al., 1991).  Pemanenan nauplii dilakukan dengan membuka pipa saluran yang berada di tengah tangki. Lampu di atas pipa tersebut dinyalakan untuk menarik nauplii yang bersifat fototaksis positif sehingga nauplii berenang ke arah pipa tersebut. Nauplii dipanen dan dimasukkan ke dalam kantung plastik (Wyban et al., 1991).
2.7.9 Pengontrolan Suplai Air
Pertukaran air total setiap hari sekitar 200% dari volume tangki. Masalah turbiditas dapat terjadi saat pertukaran air lebih rendah dari 200% volume tangki (Wyban et al., 1991).
2.7.10 Pencarian Udang Betina yang Sudah Kawin
Saat proses ini berlangsung, saluran udara di nonaktifkan untuk visibilitas maksimum. Udang betina dengan ovarium yang berkembang akan terlihat menyendiri. Penyeleksian udang betina dilakukan dengan menggunakan jaring. Spermatophore dapat hilang dengan mudah jadi pengambilan induk betina yang sudah kawin harus cepat dan hati-hati (Wyban et al., 1991).  Jika spermatophore terlihat pada udang betina, maka udang betina tersebut dipindahkan ke salah satu spawning tanks. Warna penanda, jumlah, waktu, nomer spawning tank, warna ovarium, dan kondisi spermatophore tiap udang betina yang kawin dicatat (Wyban et al., 1991). Setelah semua udang betina dengan ovarium yang berkembang diperiksa dan dipindahkan, betina yang belum kawin dilepaskan dan saluran udara diaktifkan lagi. Pemeriksaan betina tiap hari berguna untuk mendeteksi pola perkembangan ovarium (Wyban et al., 1991).
2.8 Pembenihan Dengan Cara Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan biasa dilakukan oleh penyedia induk udang yang bersifat unggul, seperti udang dengan sertifikasi SPF (Specific Pathogen Free). Teknik ini harus dilakukan agar keturunan yang diperoleh dapat dipastikan dari induk yang unggul dan tidak terjadi inbreeding. Teknik untuk menghasilkan induk unggul ini membutuhkan prosedur dan peralatan yang sangat canggih dan mahal, salah satu caranya adalah menggunakan teknik fingerprinting, dan lain-lain. Selain itu, jumlah telur dan nauplii yang dihasilkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan perkawinan secara alami (Arce et al., 2008).  Pertama-tama, udang betina ditangkap dan dilihat perkembangan ovariumnya. Betina yang sudah memiliki ovarium berkembang akan memiliki warna kehijauan pada lobus ovarium yang terletak pada bagian dasar carapace (Arce et al., 2008).
Spermatophore yang sudah berkembang dari udang jantan dikeluarkan secara manual dengan cara menekan spermatophore secara hati-hati sampai spermatophore keluar dari lubang genital. Spermatophore yang sehat tidak menunjukkan adanya melanisasi, berwarna putih, agak bengkak,dan keras jika disentuh (Arce, 2008). Udang betina yang ovariumnya sudah berkembang dipegang pelan sampai thelycum nya terlihat. Thelycum tersebut dikeringkan dengan menggunakan kertas handuk (Arce et al., 2008). Spermatophore ditempatkan di antara jari dan index finger lalu spermatophore ditekan dari ujung yang tertutup ke ujung yang terbuka. Tekanan tersebut membuat pecah kantung sperma dan membebaskan sperma yang membentuk tetesan antara jari dan index finger. Hal tersebut juga memisahkan massa sperma dari bahan gelatin dan spermatophore (Arce et al., 2008). Udang betina dipegang rapat-rapat lalu tetesan sperma diletakkan ke dalam thelycum (gambar 5). Setelah sperma diletakkan pada posisi yang tepat, posisi poreopod dikembalikan ke posisi semula yang membantu ‘mengunci’ masa sperma. Udang betina tersebut ditempatkan pada spawning tank semaleman (gambar 6). Proses ini harus diselesaikan dalam waktu kurang dari 1 menit untuk mengurangi tekanan pada udang betina (Arce et al., 2008).
2.9 Perkembangan Telur dan Nauplius
Nurdjana et al., (1986), menyatakan bahwa menetas dan tidaknya telur ditentukan sejak telur dibuahi. Telur yang dibuahi akan berkembang normal dan dilihat adanya pembelahan inti telur. Telur yang berkembang dapat dilihat dari simetrisnya bentuk pembelahan, adanya ruangan perivitelline dan bersihnya membran telur. Telur akan membelah menjadi dua sel, empat sel dan berikutnya morula, blastula, gastulla, embryo.  Telur udang penaeid yang baik akan menetas setelah kurun waktu (10-13) jam setelah pemijahan dengan temperatur (28-32)0C (Tricahyo, 1995). Selengkapnya dituangkan pada Gambar 3.





Gambar 3. Pekembangan Nauplius (Nurdjana, 1983)
Perkembangan berikutnya menjadi nauplius yang yang mengalami metamorfose. Terdapat 6 stadia metamorfose pada nauplius udang penaied yakni (Tricahyo, 1995):
a.    Nauplius 1
            Stadium nauplius 1 tubuh tidak tembus cahaya, berwarna coklat dan yang sehat warnanya lebih pekat. Memiliki tiga anggota badan yaitu antennula, antenna dan mandi bula. Fungsi dari ketiga anggota badan terutama antena sebagai alat berenang. Antenula tidak bercabang (tunggal), tidak beruas, memiliki dua state panjang. Antena dua setae panjang dan satu pendek. Mandibula bercabang dua sedang bagian furcal mempunyi dua spina panjang.
b.    Nauplius 2
            Stadium nauplius 2 hampir sama dengan nauplius 1, hanya saja terjadi perubahan yaitu semua setae  panjang menjadi bulu berupa titik.
c.    Nauplius 3
            Stadium ini bentuknya agak memanjang. Maxilla dan maxiilipes tubuh, bagian furcal mempunyai enam spina.


d.    Nauplius 4
            Stadium ini terbentuk alat peraba, protopodit dan exopodit antena mulai beruas.
e.    Nauplius 5
            Stadium ini berbeda dengan stadium yang lain pada bagian antenula. Antenula mulai beruas, tunas maxilla dan maxillipes semakin jelas. Spina pada bagian furcal menjadi 10. 
f.     Nauplius 6
            Merupakan stadium terakhir, yang dicirikan dengan penambahan jumlah setae yang tumbuh pada anggota badan dan spina yang tumbuh pada bagian furcal, carapax mulai terlihat walaupun belum sempurna. Nauplius yang sehat selalu bergerak.
  Wyban & sweneey (1991), menyatakan nauplius yang sehat akan berenang ke permukaan  mendekat cahaya, karena nauplius bersifat fototaksis positif. Stadia nauplius belum memerlukan makanan dari luar. Cadangan makanannya tersedia dalam kantong kuning telur. Nauplius yang mutunya baik bentuk duri-duri (setae)nya tidak ada yang bengkok, tidak panjang sebelah atau hilang.
2.10 Pemanenan Nauplius
        Nauplius yang dipanen sudah mencapai stadia 4 atau (N4-N5) dan dianggap kuat untuk dipindahkan. Tujuanya untuk mengurangi mortalitas pada proses transfer (Wyeban & Sweeny, 1991). Nauplius pada umumnya bersifat fototaksis positif (Djunaidah, 2002). Sifat ini biasanya dipergunakan untuk teknik pemanenan nauplius. Sinar elektrik diletakan pada suatu tempat di luar dinding bak sehingga dapat menembus dinding bak dan merangsang nauplius untuk mendekati sinar. Nauplius dapat berkumpul dan disiphon dengan menggunakan selang plastik berdiameter kecil. Siapkan wadah bak penampung yang berkapasitas 30 liter. Bak penampung selanjutnya diberi aerasi (Suyanto, 1986). Nauplius yang dipanen dimasukkan dalam bak pemeliharaan larva atau dijual kepada hatchery yang telah memesan sebelumnya.
        Nauplius yang akan diangkut dimasukan kedalam kantong plastik ukuran lebar (50-60) cm dan panjang ± 100 cm, yang telah diisi air laut yang bersih sebanyak 1/3 volume kantong. Kepadatan nauplius 200.000 ekor/liter, kemudian diisi dengan oksigen sebanyak 2/3 volume kantong . Plastik diikat erat dan kuat kemudian nauplius tersebut dikemas dalam kotak styrofoam atau kardus yang didalamnya diisi kantong plastik yang berisi es.














III.    PELAKSANAAN KEGIATAN


3.1 Waktu Dan Tempat Pelaksanaan
Kegiatan praktek pembenihan udang vanamei (Litopenaeus vanamei) dilaksanakan pada hari Senin tanggal 18 Desember 2014 yang bertempat di Jl. Raya Anyar Karang Bolong KM 1403 Kampung Kosambi II Serang Banten
3.2 Metode Pengambilan data
Data yang diperoleh dalam laporan paraktek pembenihan uadang vanamei (Litopenaeus vanamei) dapat dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari wawancara atau penjelasan langsung dari pihak PT. Suri Tani Pamuka (PT. STP) sedangkan data sekunder merupakan data penunjang dari data primer yang diperoleh dari studi literatur yang didapat dari internet dan perpustakaan Jurusan penyuluhan Perikanan.
3.3 Profil Umum PT. Suri Tani pemuka
PT. Suri Tani Pemuka erupakan salah satu anak perusahaan dari JAPFA group yang bergerak dibidang pembenihan udang vanamei (Litopenaeus vanamei). PT. Suri Tani Pemuka iini terletak di Jl. Anyar Karang Bolong KM 1403 Anyer Banten. PT Suri Tani pemuka ini memiliki jumlah anggota sebanyak 26 orang yang terbagi dalam beberapa unit kerja. Unit kerja yang terdapat di PT. Suri Tani Pemuka antara lain:
a.     Unit Induk, unit ini menangani atau melakukan pemeliharaan induk mulai dari induk tersebut datang dari hawai, melakukan pemijahan sampai induk tersebut sudah tidak produktif lagi.
b.     Unit Larva, unit ini bertugas menangani larva setelah telur dari udang vanamei tersebut menetas dan menjaga SR (Survival Rate) dari larva sampai ukuran tertentu minimal 75 %.
c.      Unit laboratorium, Unit ini bertugas untuk meneliti kualitas air untuk pembenihan udang vanamei dan melakukan penelitian secara laboratorium dengan melalui PCR terhadap udang yang dicurigai atau terindikasi kena penyakit.
d.     Unit Pakan alami, merupakan unit kerja yang bertugas untuk menyediakan pakan alami baik bagi induk udang vanamei maupun bagi larva udang vanamei yang telah  menetas.
e.     Unit Maintanance, meruapak unit kerja yang bertugas untuk melakukan perawatan dan perbaikan terterhadap fasilitas fisik yang terkait dengan pembenihan udang vanamei (Litopenaeus vanamei) di PT. Suri Tani Pemuka.
f.       Water Treatment merupakan unit kerja yang mengurusi pengelolaan air  dari air laut lepas yang dikelola sampai siap untuk dijadikan media hidup dalam pembenihan undang vanamei (Litopenaeus vanamei).







IV.   HASIL DAN PEMBAHASAN


Udang vanamei (Litopenaeus vanamei) merupakan salah satu jenis udang perairan laut yang mempunyai nilai jual yang tinggi dan menduduki tempat penting disektor perikanan, baik sebagai komuditi eksport maupun sebagi sumber protein untuk konsumsi dalam negeri, sehingga udang vanamei sangat berpotensi untuk dikembangkan baik melalui pembenihan di hatchery maupun pembesarannya. Adanya ketersediaan induk dan benih yang semakin berkurang di laut menyebabkan semakin turunnya produksi udang vanamei hasil tangkapan, sehingga produksi udang vanamei melalui budidaya perlu ditingkatkan. Peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut dapat terlaksana bila disuplai faktor-faktor produksi, khususnya jika benih udang vanamei dapat terjamin sepenuhnya.
Salah satu perusahaan yang melakukan kegitan pembenihan udang vanamei di hatchery yaitu PT. Suri Tani Pemuka (PT. STP) yang mampu menghasilkan naupli sebanyak 100 ribu – 150 ribu ekor per induk. Dalam usaha pembenihan udang vanamei terdapat beberapa komponen yang mendukung pembenihan udang vanamei di PT. Suri Tani Pemuka antara lain:
4.1 Lokasi Hatchery
Lokasi untuk pembenihan udang vanamei harus sesuai dengan lingkungan syarat hidup dari vanamei itu sendiri. Lokasi yang baik akan mengurnagi biaya produksi serta mengurangi tehnologi yang digunakan. Persyaratan lokasi hatchery dari udang vanamei telah dipenuhi oleh PT. Suri Tani Pemuka antara lain:
a.  Lokasi yang cocok untuk tambak udang adalah pada daerah sepanjang pantai (beberapa meter dari laut) ini dimaksudkan agar mudah dalam memperoleh air laut sehingga mengurangi ongkos produksi.
b.  Tersedia sumber air tawar, pada PT. Suri Tani Pemuka  menggunakan sumur bor
c.   Perairan lautnya tidak tercemar oleh limbah industry maupun rumah tangga.
d.  Memiliki parameter lingkungan seperti  suhu/temperatur=26-30ºC; kadar garam/salinitas=0-35 permil; kecerahan air=25-30 cm (diukur dengan secchi disk), pH=7,5-8,5; DO=4-8 mg/liter.
e.  Dekat dengan jalan sehingga akses lebih mudah dan keadaan social ekonomi mendukung operasional budidaya seperti keamanan yang kondusif.
IMG_0204 S2020038
Gambar 4. Lokasi Hatcheri di PT. Suri Tani pemuka
4.2 Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang mendukung akan sangat menentukan keberhasilan dari pembenihan udang vanamei ini. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PT. Suri tani Pemuka antara lain:
a.     Bak pematangan induk yang berbentuk empat persegi panjang dengan sudut lengkung (tidak ada sudut mati) agar mudah dibersihkan, mudah dalam pemeriksaan seerta mudah dalam penangkapan induknya.
b.     Bak Kultur pakan pakan alami, bak kultur ini digunakan untuk mengkultur pakan alami skala masal dengan ukuran 0,8x0,8x1,5 yang terbuat dari plastic tebal.
c.      Bak larva dan pasca larva, bentuk bak ini segi empat dengan seluruh sudutnya melengkung.
d.     Bak filter air laut untuk mendapatkan air laut yang bersih bebas dari pasir, hama penyakit dan air laut yang jernih.
e.     Bak Penampungan air, bak ini digunakan untuk menampung air laut yang sudah difilter sehingga siap untuk digunakan.
f.       Pompa udara/Blower, alat ini berguna untuk mengaerasi air media yang dipakai secara terus menerus.
g.     Pompa penghasil ozon untuk mengahsilkan ozon yang akan mematikan mikro organisme.
h.     Car Bath, sebagai biosecurity untuk membunuh bibit penyakit yang dibawa oleh mobil.
i.       Disel atau generator sebagai sumber listrik cadangan pada saat listrik dari PLN padam.
j.       Ruang kantor
k.      Laboratorium
Picture 010 P1060031 IMG_0204
Picture 032
Gambar 5. Sarana dan prasarana yang terdapat di PT. Suri Tani Pemuka
4.3 Induk Udang vanamei
4.3.1             Ciri Induk jantan dan Betina
Induk Jantan mempunyai alat kelamin berupa petasma yang terletak pada kaki renag pertama untuk induk jantan yang sudah matang gonad maka terlihat sperma pada kaki renangnya Sedangkan Induk Betina mempunyai alat kelamin berupa telikum yang terletak  pangkal kaki jalan ke-4 dam ke-5.
4.3.2             Spesifikasi Induk yang digunakan
Jenis Induk   : Udang Putih ( Litopenaeus vannamei ) dari F.1 atau keturunan
pertama
Asal/sumber  : Hawai – Amerika Serikat (Oceanic Institute dan High Health)
Spesifikasi    : -  Specific Pathogenic Free (SPF )
        -  Bebas Taura Syndrome Virus (TSV)
        -  Bebas White Spot Syndrome Virus (WSSV)
        -  Bebas Infections Hypodermal Hematopoepic  Necrotic   Virus
           (IHHNV)         
        -  Bebas Infections Mio Necrosis Virus ( IMNV )
- Bebas Ektoparasit
- Kelengkapan Organ dari induk yang diimpor
- Bebas dari Red Gills Syndrom
- Bebas dari Nekrosis
- Ukuran dari betina: 1517 cm  dan jantan :1718 cm  
- Kondisi Alat Kelamin Bagus
Pemakaian induk: 4  Bulan
IMG_2935 116_1656
Gambar 6. Induk Vanamei di PT. Suri Tani pemuka
4.3.3        Perawatan dari induk Udang Vanamei
Induk vanamei yang baru datang dari hawai didomestifikasi agar jika ada penykit yang bawaan dari daerah asalnya tidak menular kepada induk udang yang lain. Induk udang vanamei tersebut di aklamatisasi (diadaptasikan) selama 14 hari terhitung sejak kedatangan induk. Selama proses aklamatisasi dilakukan pengamatan melalui aktivitas gerak & nafsu makannya. Jika gerakannya lemah dan nafsu makan dari induk udang vanamei tersebut dicurigai terkena penyakit dan segera dilakukan penelitian secara laboratorium. Suhu yang digunakan 27-28 ºC dengan padat tebar 6-8 ekor/m²
Pemberian pakan yang diberikan kepada induk vanamei adalah cumi cumi dan cacing laut. Pemberian cumi cumi dan cacing laut ke induk udan vanamei karena cumi cumi dan cacing laut memiliki kandungan protein yang relative tinggi sehingga dengan pemberian makanan yang memiliki kandungan protein yang tinggi akan mempercepat udang untuk matang gonad. Frekuensi pemberian pakan cumi cumi ke udang vanamei adalah 2 x sehari yaitu pada pagi dan malam hari (Edi Tricahyono, 1995).
Pergantian air dilakukan dengan menggunakan system flow trhow atau aliran air maksudnya air diganti dengan mengalirkan air secara terus menerus. (air dialirkan melalui inlet dan keluar melalui out let). Pergantian air dengan menggunakan system ini dimaksudkan agar air yang terdapat pada bak benar benar bersih sehingga tidak ada endapan amoniak dalam jumlah banyak yang dapat menyebabkan racun bagi udang tersebut. Pergantian air yang digunakan adalah sampai dengan 250 %.
4.3.4             Maturasi/Pematangan
Tingkat kematangan gonad dapat dipengaruhi beberapa factor, disamping umur dan berat dari induk udang tersebut, tingkat kematangan gonad dapat dipercepat dengan
a.    Pemberian pakan yang mengandung protein cukup tinggi. Pada PT. Suri Tani Pemuka pakan yang diberikan adalah pakan cumi cumi dan cacing laut.
b.    Pengaturan lingkungan yang sama dengan lingkungan asli dari udang vanamei tersebut seperti suhu, kualitas air yang dibutuhkan dan sinyal lingkungan yang lain (seperti suasana gelap)
c.    Ablasi mata. Ablasi mata adalah pemotongan salah satu tangkai mata dari induk betina udang vanamei, pemotongan ini diharapkan mampu mengurangi hormone yang menghambat tingkat kematangan gonad dari udang vanamei. Ablasi tangkai mata dilakukan dengan menggunakan gunting yang telah disterilkan terlebih dahulu. Ablasi mata ini dilakukan dengan syarat pada saat udang tersebut tidak sedang moulting (ganti kulit), tidak sedang matang gonad dan pada saat udan tersebut memiliki nafsu makan yang cukup tinggi.
4.4 Pemijahan Induk udang vanamei
2 - 4 hari setelah ablasi lakukan sampling matang gonad sampling dilakukan pada pagi hari yaitu jam 07.00 samapi 08.00 pagi dan kemudian masukan ke bak jantan. pemijaahan udang vannamei terjadi dilingkungan air payau, telur yang dibuahi diletakkan dibawah perut induk betina dan disangga oleh kaki renangnya. Mating rate induk pada PT. Suri Tani Pemuka adalah lebih 8% maksudnya adalah induk yang matang setelah ablasi harus lebih dari 8 % misalnya jika ada 100 induk yang diablasi maka minimal harus ada 8 ekor yang siap untuk dipijahin. Telor yang dihasilkan dari 1 ekor induk adalah 200 ribu s/d 250 ribu sehingga jika terdapat 8 ekor yang bertelur maka telur yang dihasilkan adalah 2 juta telor dengan daya tetas atau Hatching rate diharapkan minimal 50 % sehingga jumlah naupli yang dihasilkan adalah 100 s/d 150 ribu ekor.
4.5 Penetasan Telur dan perawatan larva.
Larva yang berasal  pindahan dari penetasan mulai diberi pakan pada hari ke 3, pemberian pakan pada tahap ini hanya pakan artemia saja dengan frekuensi 5 kali sehari yaitu misalnya pada pukul 08.00,11.00,14.00, 17.00 dan 21.00 WIB. Selanjutnya adalah Pemeliharaan  lanjutan dari pemeliharaan tahap sebelumnya, hanya dalam pemeliharan lanjutan sifatnya penjarangan karena larva tumbuh lebih besar karena larva memerlukan ruang untuk pertumbuhan. Yang perlu diperhatikan pada waktu pemindahan larva dari tahap sebelumnya yaitu suhu air harus betul – betul sesui atau sama agar larva tidak stes. Pakan mulai diberikan pada hari pertama yaitu pakan berupa artemia dan selanjutnya di tambah dengan pakan buatan.Frekwensi pemberian 5 kali sehari bergantian. Misalnya pada pukul 08.00 pakan artemia, pada pukul 11.00 pakan buatan dan seterusnya bergantian. Dengan sudah diberi pakan buatan tentunya ada kotoran atau sisa pakan yang tidak termakan maka pada hari kedua sudah dilakukan penyiponan dan penggantian air 3 hari sekali dengan daur ulang air.
Perlakuan yang diberikana pada larva/naupli yaitu antara lain dnegan pemebrian EDTA, Pemberian aerasi, probiotik dan penutupan dengan terpal. Probiotik digunakan untuk meningkatkan vitalitas atau daya tahan dari tubuh larva udang tersebut sedangkan terpal diberikan untuk memnjaga suhu agar tetap hangat serta untuk mencegah kotoran masuk kedalam bak pemeliharaan. Penambahan air laga sebagai pakan alami dilakukan mualia tingkat Zoea 1 samapai dengan mysis 1.. pada mysis 2 samapai dengan panen (PL) dilakuakn pergantian air secara kontinue. Probiotik yang digunakan adalah Basillus Sp pemberian Basillus Sp ini dilakukan mulai awal tebar sampai panen ukuran PL (Post larva). Probiotik yang diberikan pada larva ini berguna untuk menghindari dari larva terkna bakteri vibrio. Bakteri vibrio akan sanagat tinggi menyerang udang pada saat udang berusia larva. Pemberian probiotik pada usia Zoea 1  sebesar  0.5 – 1 ppm, pada usia Mysis 1 sebesar 1 – 1.5 ppm sedangkan pada usia Post larva sebanyak 1.5 – 2 ppm. Dengan pemberian probiotik ini diharapkan udang tersebut memliki daya tahan tubuh yang kuat agar terhindar dari serangan penyakit khusus nya vibrio.
4.6 Pemberian Pakan
4.6.1 Pakan Alami
Makanan alami khususnya untuk udang vanamei (Litopenaeus vannamei) terdiri dari zooplankton dan phyto plankton. Jenis plankton ini tergantung pada kepada sifat larva dan perkembangan hindupnya.  Jenis plankton yang sering digunakna di pembenihan udang antara lain Tetraselmis Chui, Skelethonema costatum dan yang lainnya. Jenis jenis plankton ini mempunyai ukuran yang berbeda dan hanya diberikan kepada stadia larva tertentu selama perkembangan larva tersebut.  Salah satut pakan alami terutama zooplankton  yang sering diberikan kepada larva udang vanamei adalah Thallasiosera/ Chaetoceros dengan pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari yaitu pada jam  09.00, 14.30  dan 20.30. pemberian ini diberikan kepada larva udang vanamei pada saat larva berada pada stadia Zoea sampai dengan Mysis dengan jumlah  0.5 – 2 Ton. Pemupukan dilakukan agar thallasiosera dapat tumbuh dengan baik, besarnya pemupukan tergantung kepada volume bak dan kepadatan algae yang akan digunakan. Komposisi pupuk yang digunakan antara lain yaitu: EDTA, Silikat, KNO3, Phosphat, FeCl3, Vit B1 dan B12.
4.6.1.1  Kultur alga (Thallasisera)
Manajemen pemberian pakan alami khususnya laga harus dilakuakn dengan cara melakukan kultur pakan alami. Kultur pakan alami khususnya laga ini dilakukan untuk menjaga baik kualitas dan kuantitas pakan lami yang dibutuhkan pada saat pembenihan udang vanamei tersebut. Kultur Alga di PT. Suri tani Pemuka dilakukan dengan menggunakan beberapa tahapan kultur pakan antara lain:
1.     Kultur Stock Murni, kultur ini berfungsi untuk menghasilkan Thallasisera yang bener bener murni yang tidak tercampur dengan plankton jenis lain. Kultur stock ini dilakukan sebagai stock atau persediaan jika Thallasisera sudah habis dan dapat dikultur lagi tampa harus membeli Thallasisera di balai balai perikanan. Kultur stock ini dilakukaan didalam Laboratorium dengan volume bak 10 ml sampai 100 ml dengan sistem kultur tertutup. Kultur tertutup ini dimaksudkan agar mendapatkan Thallasisera yang bener benar murni.
2.     Kultur Skala Lab, kultur ini merupakan kultur murni Thallasisera dengan jumlah yang lebih banyak daripada kultur stock. Agar kultur ini dapat menghasilkan kultur murni maka penggunaan alat alat harus disterilkan dengan menggunakan alkohol 75 % atau dengan cara dibakar terlebih dahulu. Volume yang digunakan dlam kultur skala Lab ini adalah 0.5-19 L. Kultur ini dilakukan secara tertutup (closed culture) agar tidak terkontaminasi dengan plankton yang lain.
3.     Kultur Intermediate atau Kultur semi masal, kultur ini untuk menghasilkan jumlah plankton /algae Thallasisera yang lebih banyak. Kultur ini bukan merupakan kultur murni karena kultur ini dilakukan bisa dilakukan di dalam ruangan maupun diluar ruangan. Volume kultur ini lebih besar daripa kultur skala lab dn kultur murni dengan jumlah 500 L - 1 ton dengan system kultur terbuka.
4.     Kultur  Masal, kultur ini dilakukan dalam jumlah yang sangat besar dengan jumlah 30 ton. System kultur iini dilakukan dengan system terbuka yang dilakukan di luar ruangan.
4.6.1.2        Kutur Artemia
Atemia merupakansalah satu  pakan alami yang dilakukan diberikan kepada larva udang vanamei (Litopenaeus vanamei). Artemia adalah sejenis udang udangan yang sudah biasa digunkan sebagai makanan bagi udang yang telah mencapai Mysis 2. Artemia biasa diperdagangkan dalam bentuk kista dan sebelum diberikan harus ditetaskan terlebih dahulu didalam wadah yang berbentuk kerucut.  Media yang digunakan adalah air laut bersalinitas minimal 10 permil. Waktu penetasan dilakukan selama 12 jam dan setelah 12 jam artemia sudah menetas dan siap untuk diberikan kepada larva udang.  Sebelum artemia diberikan kepada larva undang vanamei (Thallasisera) dilakukan sterilisasai atau dilakukan washing atau pencucian dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan chlorin yang digunakan pada saat dekapsulisasi, menghilangkan lendir serta sebagai saran untuk sterilisasi. Pemberian pakan berupa artemia ini dilakukan sebanyak 4 kali sehari yaitu pada jam 09.00; 15.00; 21.00; 03.00 sesuai dengan tingkat kekosongan lambung dari udang vanamei tersebut.
4.6.2 Pakan Buatan
Pakan buatan pada pembenihan udang vanamei (Litopenaeus vanamei) merupakan tambahan yang diberikan pada larva udang vanamei untuk mencukupi kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh larva udang tersebut. Ukuran dari larva udang bervariasi tergantung pada umur dan stadia dari larva udang tersebut serta tergantung pada bukaan mulut dari larva udang tersebut. 
a.  Stadia Zoea, merupakan larva stadia kedua setelah nauplius yang berukuran 1,2 samapi dengan 2,5 mm. pada stadia ini mulut sudah berkemban, larva ini mengalami perubahan bentuk melalui 3 substadia (Z1-3) yang memerlukan waktu 120 jam. Pakan yang diberikan pada stadia ini adalah Spirulina Sp,  Flake,  Nosan R-1, Fripak CAR Nomer 1,  Artemac 0.
b.     Mysis adalah larva stadia selanjutnya setalah Zoea yang berukuran 3,5 s/4,56 yang sudah dapat berneang aktif, mencari dan menangkap makanan sendiri. Larva ini memrlukan waktu 72-96 jam untuk mencapai stadia berikutnya yaitu post larva. Pemberian pakan untuk stadia ini adalah  Fripak CD Nomor 2,  Flake, Nosan R-1 dan 2,  Spirulina Sp,  Artemac 1.
c.      PL (Post Larva) terjadi setelah proses pergantian kulit terakhir pada stadia Mysis yang berukuran 5 mm (PL1) yang bersifat planktonik, omnivore dan mengalami pergantian kulit setiap hari sampai substadia PL4. Setlah melalui tersebut maka larva udang tersebut bersifat karnivora, bentik dan merayap didasar dan sepanjang dinding bak. Pakan yang diberikan pada satia ini adalah  Flake,  Lansy MPL,  Fripak PL150-300,  Artemac 2-3,  Nosan R-2.
4.7      Kualitas Air
Pengamatan parameter kualitas air dilakukan dengan melakukan melalui pengamtan secara fisik, kimia dan biologi.  Pengamatan fisik dilakukan dengan melakukan pengamatan shu dengan menggunakn thermometer dan salinitas menggunakan Refraktometer. Pengamatan kimiawi dilakukan di laboratorium dengan melakukan pengamatan seperti DO (Oksigen yang terlarut),  Alkalinitas,   Nitrit,  PH dan  NH3.  Sedangkan pengamatan biologi dilakukan dengan melihat berdasarkan tingkat TSA dan TCBS serta pengamatan atas jumlah protozoa yang menyerang yang dilihat berdasarkan mikroskop. Pengamatan penyakit untuk udang yang terindikasi White spot dan Taura Syndrom Virus dapat dilakukan dengan pengamatan secara PCR yand dilakukan pembagatan di mikroskop.  Parameter Kualitas air dapat dilihat dibawah ini:
No
Parameter Kualitas Air
Angka Referensi
1.





2





3
Fisika
-          Suhu
-          pH
-          Salinitas
-          Oksigen Terlarut
-          Kecerahan
Kimia
-          Nitrit
-          Fosfat
-          Alkalinitas
-          Besi
-          Asam Sulfida
Biologi
-          Jumlah patogen

26-30 C
7,5 – 8,5
15-30 ppt
≥ 3ppm
≤30 ppm

≤0,1 ppm
1-3 ppm
≥150 ppm
≤ 1 ppm
≤ 7 ppm

≤1.000 cfu/ml

4.8      Water Treatment
Water treatment merupakan salah satu perlakuan untuk mendapatkan air bersih dalam jumlah yang cukup untuk pembenihan udang vanamei ini. Air yang bersih ini dimaksudkan adalah air yang terbebas dari hama dan penyakit. Water treatment ini dilakukan melalui beberap cara antara lain:
a.     Presure air laut untuk dilakukan pengendapan.
Air laut diambil dengan menggunakan pipa dengan jarak kira-kira 100 m dengan kedalam 1 meter. Air laut tersebut kemudian dialirkan ke tandon air atau bak filter. Bak filter ini terdiri dari beberapa bahan antara lain pasir kuarsa dan karbon aktif. Air laut ini dialirkan dari bawah ke atas sehingga air yang keluar ini akan bersih. Hasil yang dikeluarkan dari bak filter ini dialirkan ke bak tandon selanjutnya.
b.     Ozonisasi dan Chlorinisasi
Air yang berasal dari bak filter ini dimasukan kedalam bak tandon air. Pada bak tandon terakhir dilakukan sterilisasi dengan menggunakn Ozon dan chlorine untuk menghilangkan bibit penyakit pada air.  
4.9  Panen Dan Pengemasan
Larva yang akan dipanen dilakukan uji benur terlebih dahulu agar konsumen tidak kecewa terhadap benur yang dibelinya. Uji benur tersebut meliputi uji PCR, Strses test dan scooring test. Stres tset dilakukan dengan melakukan uji salinitas dan formalin, pada uji salinitas dan formalin menunjukan benur masih aktif bergerak dan tidak diam maka benur ini memiliki kualitas yang baik. Scoring test dilakukan dengan pengamatan secara kasat mata dengan melihat tingkat kejernihan tubuh, ada tidaknya nektoparasit serta hepatopankresa pada larva tersebut. Larva berumur kurang lebih 30 hari atau telah menjadi juvenil, tahap selanjutnya adalah pemanenan juvenil atau postlarva dengan cara menguras air di bak pemeliharaan, juvenil diserok dengan scopnet halus dari hasil tersebut dihitung dengan cara sampling atau dihitung satu persatu.
Transportasi juvenil ada dua system yaitu sistim terbuka apabila dekat dengan kawasan budidaya, sistem tertutup bila kawasan jauh atau memerlukan waktu cukup lama. Sistem terbuka dengan menggunakan ember dengan volume disesuaikan banyaknya juvenil dengan dilengkapi aerasi batery, sedangkan sistem tertutup dengan menggunakan pastik ukuran lebar 40 cm dan panjang 60 cm, caranya pastik diisi air sebanyak 5 liter kemudian juvenil yang sudah disampling dimasukkan dengan kepadatan 2.200 ekor , kemudian dioksigen sebanyak 2/3 bagian,plastik diikat erat dengan karet ini untuk transpotasi maxsimal 10 jam, apabila lebih perlu adanya penggantian oksigen diperjalanan. Berikut ini merupakan table perbandingan pengiriman larva udang yang didasarkan pada jarak pengiriman yang dilakukan di PT. Suri Tani Pemuka.

No
Uraian
Jarak pengiriman
Lokal < 4 Jam
Lokal > 4 Jam
Luar Pulau
1
2

3
4
5

6

Volume Air
Penggunaan Es

Padat Tebar/Kantong
Bahan yang digunakan
Harga

Ukuran Larva
2 Liter
Tidak menggunakn Es
2000-2500/Ktg
Styrofoam
RP. 35,00/ekor

Ø PL.10
2 Liter
Menggunakan Es

2000-2500/Ktg
Styrofoam
Rp.35,00/ekor

Ø  PL.10
2 Liter
Menggunakan Es

>2.500/Ktg
Styrofoam
Rp.35,00/ekor + Transport
> PL.8












V.           KESIMPULAN

Pembenihan Udang Vanamei (Litopenaeus vanamei) yang dilakukan di PT Suri Tani Pemuka talah dilakukan dengan baik dengan penerapan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang ketat seperti  food safety (non antibiotik), Ramah lingkungan, Tanggung jawab social, enerapan biosecurity di segala bagian  meningkatkan produktivitas dan kualitas benur,  Adanya improvement yang konsisten dengan adanya sistem recording yang lengkap dari waktu ke waktu. Sehingga menghasilkan benur yang sehat dan bermutu (standar SNI) dan menambah keyakinan bisa menghasilkan benur bermutu baik bagi produsen maupun konsumen.














DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Perikanan. 1999. Persiapan Tambak dalam Budidaya Udang Berwawasan Lingkungan.  Direktorat Bina Produksi. Jakarta.

Farchan, Mochammad. 2007, Teknik Budidaya Udang Vanamei. BAPPL Selah Tinggi perikanan. Banten

Kanna, I. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) system sirkulasi tertutup. BPBPLAPU, Karawang.

Widodo R dab Dian A. 2005. Udang vanamei. Penerbar Swadaya. Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar